Sebuah seminar untuk memperingati Isra' Mi'raj, diadakan di pesantren
desa saya dengan mengetengahkan tema "Sufisme Sebagai Pengendali Moral".
Tema ini ditinjau dari beberapa sisi di antaranya tinjaun filsafat.
Menarik sekali, karena antara sufisme dan filsafat sama-sama
diperdebatkan segi rasionalitasnya. Kalau filsafat saja, tentu sudah
jelas ia mutlak berangkat dan akal/rasio manusia untuk mencari
pembenaran sesuatu. Metode itu lalu dikenal dengan pemikiran filsafati,
yaitu pemikiran menyeluruh, mendasar dan selalu mencoba menelaah hal-hal
baru untak kemudian dikembangkan secara lebih luas lagi. Sedangkan
sufisme, dalam seminar itu diperdebatkan antara rasionalitas dan
irrasionalitasnya.
Ada beberapa 'seminaris' yang menganggap
sufisme sama sekali irrasional. Pendapat ini dikuatkan dengan kajian
referensial terhadap sebuah pendapat ilmuwan terkemuka negeri ini. Ada
lagi yang lebih unik, sufisme dinilai irasional tetapi tetap tidak
meninggalkan unsur penalaran. Dari pendapat ini kemudian dipertanyakan
tentang eksistensi dua hal yang saling berlawanan dalam satu
permasalahan. Artinya,
ijtima' al-atsaroini (berkumpulnya dua
hal yang saling berlawanan) ini jelas sangat mustahil. Seperti diam dan
bergerak. Adalah mustahil, ada satu benda yang dapat melakukan diam dan
bergerak dalam masa yang bersaman.
Agaknya ada lagi pendapat
yang berkesan kompromistis. Bahwa dalam tahapan proses, sufisme bisa
jadi melalui jalan rasional. Namun ketika sufisme telah mencapai titik
puncak
musyahadah (melihat dzat) Allah, tahap ini tidak lagi rasional. Ini mirip dengan agama sebagai
wahyun ilahiyyun (kewenangan
Tuhan) yang absolut dan irasional. Namun pada tahap pemahamannya, agama
tetap rasional. Bahkan dikatakan, al-Din huwa al-'aql 1a dina liman la
'aqla lahu (Agama adalah akal, tidak bisa beragama bagi orang yang tidak
berakal).
Penjabaran ini sepertinya berangkat dari sebuah kitab
kuno sufisme (bukan kitab sufisme kuno). Di sana disebutkan, jalan
untuk mencapai kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya tiga dimensi
syari'at,
thariqat dan
haqiqat.
Sementara posisi sufisme sebagai reaksi perasaan yang tinggi, agung dan
murni terhadap pelaksanaan ketiga dimensi tersebut, tentunya tidak
mungkin terlepas dari apa saja yang berkaitan dengan ketiga hal itu. Dan
salah satu komponennya—seperti syari'at—suatu saat, prosesnya bisa dan
boleh menggunakan jasa akal. Meskipun jelas, tidak seluruh syari'at
berangkat dari penalaran dan memang eksistensinya sama sekali tidak
rasional.
***
Muncul satu masalah lagi dalam seminar
itu, berkisar antara keberadaan ilmu, filsafat dan sufisme atau lebih
tepatnya agama. Sebagaimana telah maklum, ilmu menggunakan jasa rasio,
begitu juga filsafat. Akan tetapi ilmu tidak akan mencapai hakikat
filsafat. Dan puncak filsafat juga tidak akan menerobos hakikat sufisme
secara esensial mau pun eksistensial, pijakan keberadaan masing-masing
berbeda.
Dari mata rantai ini, pembahasan seminar itu terasa
bertele-tele, mengingat belum terselesaikannya satu masalah, sudah
muncul lagi permasalahan baru. Maklumlah saya, karena keseluruhan
'seminaris' adalah siswa Aliyah dan Tsanavviyah yang tentu saja masih
terbatas kemampuan analogi dan sekaligus pemahamannya terhadap tiga
masalah itu.